Apa upaya Toba Tenun untuk menjadikan tenun Batak tidak hanya sebagai seremonial adat, serta bagaimana melihat potensi agar sejalan dengan konsumen terutama generasi muda?
“Budaya juga bisa dinamis saling menghargai, karena saat ini sudah banyak anak-anak muda yang peduli untuk melestarikan budaya, hanya butuh momentum saja untuk menggerakkan banyak pihak agar bisa saling berkolaborasi”.
- Fatimah (Tobatenun Textile Specialist)
Demi menghasilkan produk yang berkualitas, banyak hal yang perlu diperhatikan dalam mentransfer unsur-unsur lokal, elemen apa yang dapat berubah atau tetap dipertahankan citra aslinya. Salah satu tantangannya yaitu beradaptasi dengan kondisi terkini, menggabungkan dari segi teknologi, desain, manajemen dan strategi pemasaran.
Untuk memberikan value pada sebuah produk tradisi, Toba Tenun memulai riset dari jenis benang berkualitas seperti kapas dan sutra serta melakukan potensi riset serat alam seperti serat nanas, abaka, rami dan lainnya. Juga pemilihan material alam untuk pewarnaan tekstil, karena di Sumatera Utara sumber daya alam melimpah ruah, sehingga memiliki potensi besar dalam riset pewarnaan alami. Walaupun begitu Toba Tenun menghindari penggunaan material alam yang masih dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan, seperti kunyit daun pepaya dan lainnya.
Selain dari riset alam, Toba Tenun juga melakukan riset alat tenun bukan mesin (ATBM) dan alat tenun tradisional, sejauh ini Toba Tenun banyak menggunakan alat tenun tradisional yaitu gedogan, dimana alat ini dahulu kala sering digunakan oleh leluhur dalam menenun. Alat tenun tradisional gedogan memiliki esensi tinggi, karena penggunaannya cukup rumit dan untuk dapat menghasilkan tenun berkualitas membutuhkan keterampilan tinggi. Salah satu program yang diadakan Toba Tenun melalui Jabu Bonang adalah lokakarya revitalisasi beberapa Ulos lawas, dengan sentuhan kombinasi pewarnaan dan serat alami hasil riset, dapat menghasilkan produk yang lebih modern serta diminati banyak orang.
Modernisasi bukan berarti menghilangkan atau mencontek tradisi budaya yang sudah berdiri, namun meneruskan nilai yang sudah tertanam, diteruskan dengan cara diolah menjadi hasil revitalisasi ataupun kontemporer, yang dimaksud dengan “diteruskan” seperti contohnya Ulos dengan salah satu maknanya sebagai “pengikat kasih sayang”, makna tersebut yang dijaga dan “diteruskan” dari generasi ke generasi berikutnya, sehingga kain tenun Batak dapat dinikmati banyak orang.
Sebagai perwakilan dari perajin binaan Jabu Bonang, bagaimana pengalamannya mengikuti program binaan?
“Kesalahan adalah proses menjadi benar, maka jangan menyerah karena satu kesalahan, belajar terus menerus hingga berhasil”.
- Lasma Ria Manullang (Champion Perajin Tenun Jabu Bonang)
Sebelum bergabung dengan Jabu Bonang, dulu sempat memiliki usaha tenun sendiri dirumah, namun semenjak pandemi keadaan semakin susah dimana penjualan tenun menjadi sulit. Puji Syukur, dalam situasi susah masih mendapatkan kesempatan bergabung dengan Jabu Bonang melalui program lokakarya Toba Tenun.
Bersyukur terpilih menjadi champion, dari 11 orang peserta yang terlibat pada program ini. Berlanjut dengan diberikan pembelajaran lebih dalam di Pulau Jawa selama 2 bulan, selama berada dalam binaan berbagai macam ilmu didapatkan dari pembelajaran menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) Dobby, mengenali jenis-jenis benang dan banyak hal lainnya. Proses pembelajaran di Jabu Bonang menjadi bekal untuk melestarikan budaya dengan menghasilkan produk-produk yang berkualitas.
Sempat teringat juga motivasi dari tim pelajar “kesalahan adalah proses menjadi benar, maka jangan menyerah karena satu kesalahan, belajar terus menerus hingga berhasil”, karena palam proses pembelajaran sebuah kesalahan pasti tak luput, namun dari situlah bagaimana proses menuju keberhasilan didapatkan. Besar harapan bahwa pemuda pemudi di Indonesia terutama dari Batam, dapat memperluas adat dan budaya Batak karena sesungguhnya budaya memiliki peranan penting.
Bagaimana kisahnya selaku founder Mangulosi dalam membuat bisnis dengan menjaga tradisi dan melestarikan budaya?
“Kerinduan pribadi untuk Ulos dapat dikenal kembali, dapat digunakan lagi. Walaupun dengan mengenalkan cara pemakaian Tradisional, namun dapat dipahami oleh generasi muda”.
- Sarah Jane Nainggolan (Founder Mangulosi)
Dapat dilihat dari namanya sendiri yaitu mangulosi, yang mana secara makna adalah memakaikan Ulos dan identik dengan upacara di pernikahan. Ulos sebagai lambang dari fase kehidupan itu sangat penting.
Sebenarnya ide ini berawal dari saat akan melakukan pre-wedding, dimana ingin tematiknya menggunakan Ulos dengan pasangan, namun ternyata untuk mencari Ulos sangatlah sulit, disitulah mulai terinspirasi untuk dapat mengembangkan Ulos dengan menciptakan brand Mangulosi ini, agar kelak nanti generasi muda juga dapat lebih mudah mengakses Ulos saat sedang mempersiapkan pernikahan. Tentunya juga dengan cara yang semakin berkembang mengikuti zaman, sehingga lebih mudah di padu padankan. Mangulosi juga menggunakan platform sosial media, agar edukasi pada generasi muda juga dapat tercapai.
Selaku dari Creative Director Manikan, apa kisah di balik hadirnya brand Manikan ini?
“Generasi muda senang dengan sesuatu yang cukup berbeda namun tidak ingin terlalu mencolok, mencari jawaban melalui observasi untuk mencoba hadirkan produk dengan kombinasi kain tradisional yang dapat digunakan sehari-hari”.
- Bagus Galih Hastosa (Creative Director Manikan)
Walaupun awalnya memang secara pribadi berniat menjadi guru, tapi saat semasa kuliah di Jurusan Psikologi muncul rasa ingin berbisnis, dulu dimulai bersama dengan teman. Kebetulan juga saat itu Ayah memang memiliki bisnis Tenun, akhirnya memulai dengan mencoba membuat sesuatu yang dapat dipakai seperti tas dan sebagainya. Kebanyakan produk yang menggunakan kombinasi kain Tenun tidak cocok dengan generasi muda, terkadang dikarenakan desainnya yang cukup mencolok seakan hanya ibu-ibu yang akan memakainya.
Berlanjut melakukan observasi dengan target pasar, berbagai macam jawaban didapatkan mengapa mereka para generasi muda masih enggan menggunakan produk dengan kain tradisional, diantaranya karena kain tradisional sarat akan penggunaan acara adat tertentu sehingga merasa bahwa kain tradisional tidak diperuntukkan dalam sehari-hari.
Dari hasil observasi itulah akhirnya mulai mencoba membuat produk yang sesuai dengan kalangan generasi muda, karena tantangannya adalah bagaimana generasi muda ingin menggunakan produk dengan kombinasi kain-kain tradisional. Karena generasi muda ini ingin terlihat berbeda namun tidak terlalu mencolok.
Sebagai penggagas dari Swara Gembira bagaimana kisah dalam merevolusi seni budaya agar tetap digemari oleh muda mudi Indonesia?
“Budaya asing dapat mendominasi dunia karena berhasil merevolusi budayanya sendiri”.
- Oi (Penggagas Swara Gembira)
Akan cukup panjang jika dijelaskan dari awal, mungkin secara singkat. Jadi sebagai remaja Jakarta kala itu seperti pada umumnya, terpapar oleh budaya barat yang mendominasi. Di Ibu Kota sendiri cukup sulit untuk mengakses kebudayaan bangsa, tidak hanya pada kain tradisional saja, seperti musik ataupun tarian tradisional pun cukup sulit. Kebudayaan Indonesia cukup sulit ditemukan dalam kegiatan-kegiatan anak muda maupun non-muda.
Secara pribadi mulai menyadari bahwa seni merupakan tempat yang disenangi dan digemari, dari SMA hingga kuliah seringkali menjuarai di bidang seni, pernah berada di sekolah musik, mempelajari musikalisasi puisi, seni tari hingga berada di jenjang pendidikan rancang busana dan desain grafis. Pernah mengalami masa dimana gemar dengan budaya asing, baik dari Amerika, Eropa, bahkan Jepang. Sampai pada akhirnya mencapai suatu titik kesadaran, bahwa semua yang diidolakan bisa mendominasi karena mereka dapat “merevolusi budayanya masing-masing”, Amerika dengan arogansi kerennya menjadi mercusuar dominasi budaya, begitu juga dengan Jepang ataupun Bollywood, bahkan Korea sendiri dapat merevolusi budayanya dengan dominasi budaya dan bahasanya sendiri.
Kebanyakan bangsa kita berusaha mengikuti tata cara asing agar dapat dikenal secara internasional, lagi-lagi menggunakan tata cara asing. Bukan karena salah anak muda, tapi mungkin karena Indonesia kurang berhasil dalam revolusi budaya. Seperti halnya kain-kain yang sering dijual di Ibu Kota ini, kebanyakan adalah kain-kain peninggalan nenek moyang, yang mana tidak lagi relevan dengan konsumsi zaman sekarang, peninggalan nenek moyang memang seharusnya dilestarikan, namun untuk menjadi konsumsi pasar harus terdapat revolusi budaya. Dapat dilihat brand terkenal seperti Zara atau sejenisnya, mereka menjual produk secara kekinian, tidak ditemukan produk dengan corak Eropa pada abad ke-18, walaupun ada beberapa produk yang menggunakan elemen jaman dahulu hanya dipergunakan sebagai otentisitas dan tidak menjadi produk utama.
Contoh sederhananya, generasi zaman sekarang dimana smartphone sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari disuruh kembali menggunakan kembali produk handphone jaman dahulu yang sebesar batu bata? Jawabannya pasti tidak. Dalam revolusi budaya ini peran Pemerintahan sangatlah penting, karena merekalah yang harusnya bisa melahirkan ciptaan baru yang bisa membuat seni budaya kembali selaras sesuai dengan selera zaman.